Menurut Imam Qurthubi
dalam tafsirnya mengatakan; “Jilbab berarti kain yang lebih
besar ukurannya dari khimar (kerudung)”, dan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Jilbab
diartikan kerudung lebar yang dipakai
wanita muslim untuk menutupi kepala dan leher sampai dada.
(KKBI,
ed.3, 2005, hal.473.). Sedangkan M. Quraish Sihab dalam salah-satu bukunya berpendapat : “Jika
mengacu ke Al Quran dan pandangan ulama, tak ada beda hijab dengan jilbab.
Dua-duanya dimaksudkan sebagai penghalang dan
penutup badan bagi wanita muslimah. Jilbab bisa dimaknai sekadar kerudung maupun pakaian longgar yang menutupi
seluruh tubuh wanita. (Shibab, 2004: 88.)
Sedangkan kalau
kita mencari arti hijab dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kita hanya akan
menemukan “hijab” berarti: 1) Dinding yang
membatasi sesuatu dengan yang lain; 2) Isi dinding yang membatasi hati manusia
dan Alllah; dan 3) Dinding yang membatasi seseorang dari mendapat harta waris
(contoh kalimatnya: Anak laki-laki adalah hijab dari saudara sebapak). (KBBI,
ed.3, 2005, hal. 401.). Jadi dalam KBBI ini kita tidak akan menemukan definisi
hijab yang berhubungan dengan kerudung (Penutup sebagaian aurat muslimah).
Dalam perkembangan selanjutnya kita menemukan sesuatu yang menarik bahwa
saat ini kita seakan ingin menggantikan istilah Jilbab dengan Hijab. Untuk
mengetahui labih lanjut, mari kita perhatikan sebuah cerita berikut:
“sejarah” jilbab 30 tahun terakhir di
Indonesia
“Kesadaran ber-Islam
di kalangan kaum muda perkotaan sejak akhir 1970-an terus berkembang termasuk semakin perempuan yang menutup tubuhnya dengan jilbab.
Pada awal 1980-an berjilbab tidaklah segampang sekarang, tinggal datang ke toko,
beli jilbab, lalu pakai. Dulu, berjilbab, terutama di lingkungan sekolah umum
termasuk hal yang dilarang. Masa itu, yang memakai jilbab (waktu itu lebih pas
disebut kerudung) umumnya ibu-ibu yang sudah berumur, punya suami, atau jika
masih muda, umumnya sekolah di sekolah khusus Islam seperti Madrasah Tsanawiyah
(setingkat SMP) atau Aliyah (setingkat SMA).
Silakan tanya aktivis
dakwah yang mengalami pahit getir berjilbab di sekolah umum hingga awal
1990-an. Mereka pasti akan cerita betapa susahnya menjalani perintah Tuhan yang
satu itu.
Anda tentu mafhum,
Indonesia tahun 1980-an di masa Soeharto terhitung tak akrab dengan Islam yang
mereka sebut radikal. Rezim hanya mau “Islam yang mereka terima.” Waktu itu,
rezim sedang gerah dengan Islam radikal yang melakukan aksi teror mengebom
Candi Borobudor, membajak pesawat Garuda, mengebom Bank BCA, hingga tragedi
Tanjung Priok dan Lampung.
Perempuan berjilbab
dianggap representasi dari kaum Islam radikal. Maka, berjilbab dilarang. Tidak
langsung, tentu. Pada 1982, Departemen P & K
Republik Indonesia mengeluarkan SK 052/c/Kep/D/82 (kemudian dikenal dengan
sebutan SK 052) untuk mengatur penggunaan seragam sekolah. Semua tahu, ini SK
untuk melarang jilbab di sekolah-sekolah umum.
Sejak ada SK itu,
tekanan pada siswi berjilbab makin keras. Para siswi dipaksa melepas jilbab
atau tidak boleh mengikuti pelajaran. Pada 1980-an juga marak insiden
pelarangan jibab. Dari buku Revolusi Jilbab (2002) karya Alwi Alatas, kasus
jilbab versus siswi sekolah muncul pertama kali 1979 di Bandung. Sejumlah siswi
Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Bandung mulai menggunakan jilbab. Pihak sekolah
kemudian berniat mengumpulkan mereka dalam kelas terpisah. Para siswi menolak.
Ketegangan ini lalu juga mengundang MUI Jawa Barat turun tangan menyurati
Kanwil P dan K Jawa Barat, meminta siswi yang memakai jilbab di sekolah tak
dipersulit.
Setelah muncul SK di
atas, ada pelarangan jilbab di SMAN 3 Bandung. Guru olahraga sekolah itu, bukan
hanya melarang siswi yang pakai jilbab ikut pelajarannya, tapi juga mewajibkan
mereka pakai hot pants untuk olahraga.
Pada 1983, pelarangan
atas jilbab semakin memanas. Dalam catatan MUI di tahun itu ada 100 siswi
dipindah paksa dari sekolah-sekolah mereka ke sekolah lain karena pakai jilbab.
Kemudian, di tahun itu juga, tepatnya 9 Agustus, terjadi insiden kekerasan di
SMAN 30 Jakarta. Para siswa-siswi SMA itu yang melakukan aksi protes pelarangan
jilbab malah dihadapi dengan kekerasan oleh aparat. Mereka memukul beberapa
siswa dengan bokor senjata, membuat
sejumlah siswa masuk rumah sakit.
Tragedi Tanjung Priok
tahun 1984 kemudian makin membuat pemakai jilbab terjepit hingga sudut
tersempit. Rezim Orde Baru makin mengkotakkan Islam ke dalam “yang diterima”
dan “yang tidak diterima.” Dan jilbab masuk kategori Islam “yang tak diterima.”
Di sekolah-sekolah negeri di Bandung pada 1984 diklaim bersih dari jilbab.
Bukannya tak ada yang
pakai jilbab lagi. Tapi, masa itu, akhirnya pemakai jilbab memilih tiarap. Jika
tak pindah sekolah, banyak aktivis Islam masa itu yang memilih berkompromi.
Para siswi berjilbab memilih manut, melepas kerudung saat masuk pelataran
sekolah. Aktivis dakwah
masa itu akhirnya memilih merapatkan barisan dan kaderisasi.
Para siswi hanya
menanggalkan jilbab di sekolah. Di luar itu, mereka menjaga pergaulan antara
laki-laki dan perempuan sesuai syariat. Laki-laki dan perempuan ditempatkan terpisah.
Di kalangan mereka juga muncul sebutan ikhwan (saudara laki-laki) dan akhwat
(saudara perempuan). Yang laki-laki dipanggil “akhi”, yang perempuan “ukhti.”
Pada akhirnya, rezim
tak bisa lama-lama lagi melarang jilbab. Di awal 1990-an Soeharto konon lebih
akrab dengan Islam. Momentumnya saat ia mengizinkan ICMI berdiri. Simpati
masyarakat pada penindasan siswi berjilbab juga makin deras.
Maka, pada 1991, Mendikbud Fuad Hasan mengeluarkan SK nomor 100
yang membolehkan siswi umum berjilbab.
Sejak itu, jilbab
semakin banyak. Maknanya juga kemudian bukan lagi simbol perlawanan atau
ketaatan maksimal. Bahkan kemudian jilbab jadi bagian dari mode. Jilbab pun
dikotakkan ke dalam beberapa jenis. Ada jilbab panjang, juga ada sebutan jilbab
gaul, yang bisa diartikan berkerudung tapi memakai jeans atau bahkan tetap
memakai kaus ukuran sang adik.”
Jilbab di Indonesia
telah melewati sejarah panjang, jatuh-bangun. Jilbab sebagai mode gaya hidup
kemudian melahirkan perancang-perancang busana muslim.
Setelah Reformasi
1998, perancang koleksi premium untuk perempuan berjilbab kian banyak. Hanya,
rancangan mereka terlalu unik dan tampaknya ribet untuk dipakai. Ikon untuk
jilbab jenis ini yang kerap dipakai Neno Warisman. Neno memakai jilbab
berlapis-lapis.
Nah, anak-anak muda
yang ingin tampil kasual tak melirik rancangan model begitu. Akhirnya yang
terjadi salah kaprah dalam berjilbab. Berkerudung tapi pakaian tampak ketat.
Dari sini muncul istilah jilbab gaul. Dicatat majalah Madina edisi Mei
2008, jilbab yang dulu dianggap tanda-tanda kebangkitan Revolusi Islam, kini
dipandang sebagai bagian dari budaya pop saja. Jilbab yang di awal didasari
semangat untuk menjalankan hidup yang murni secara Islam, kini diperlakukan
sebagai gaya berpakaian yang “funky.” Semua dihadapi serba rileks. Istilah
jilbab gaul—yang dalam istilah percakapan sehari-hari adalah berjilbab tapi
juga ber-jins, dan bisa jadi menampakkan lekuk tubuh—adalah contoh sikap santai
itu.
Para hijabist alias
kaum berjilbab pasca dekade 2000-an semisal Dian Pelangi, Ria Miranda, Jenahara
Nasution, Fifi Alvianto, dan Ghaida Tsurayya tampaknya tak ingin terkontaminasi
makna jilbab gaul yang sudah berkonotasi negatif. Pun mereka ingin membedakan
diri dari perancang busana muslimah generasi orangtua mereka.
Belum ada tanggapan untuk "Hijab atau Jilbab 2"
Posting Komentar