Contoh Makalah Panjalu

Bumi Alit Panjalu 

1.1    Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah Negara yang memiliki keanekaragaman peninggalan sejarah. Peninggalan sejarah ini ini harus di lestarikan sebaik mungkin agar seluruh warga Indonesia dapat memanfaatkannya dengan baik untuk mengetahui sejarah zaman dahulu.

Salah satu tempat wisata yang bersejarah khususnya di Provinsi Jawa Barat kabupaten Ciamis adalah Situ Panjalu. Situ Panjalu merupakan salah satu objek wisata kebanggaan Kabupaten Ciamis karena selain merupakan objek wisata juga disana terdapat nilai-nilai sejarah Kerajaan jaman dulu.

Kegiatan Studi lapangan merupakan salah satu program dari sekolah untuk menambah wawasan serta ilmu pengetahuan, bukan hanya mendengarkan materi yang biasa dilakukan sibangku kelas, tapi kami dapat melihat, meraba sekaligus merasakan langsung ke objek tersebut. Selain itu juga kegiatan berwisata ini merupakan salah satu bentuk pembinaan siswa dalam Pendidikan Pendahuluan Bela Negara serta Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, karena kegiatan ini tidak hanya mengutamakan rekreasi, tetapi juga siswa diharapkan dapat melakukan penelitian di setiap objek-objek wisata dan berwawancara langsung dengan narasumber disana, sehingga dapat menambah wawasan dan keterampilan siswa. Setelah dilakukan beberapa penelitian, para siswa diharapkan dapat melaporkannya dalam suatu karya berbentuk karya tulis (laporan perjalanan).

 

1.2    Rumusan Masalah

Karya tulis ini didasarkan pada pertanyaan sebagai berikut ini :

1.          Bagaimana Sejarah Kerajaan Panjalu?

2.          Bagaimana Silsilah Penguasa Kerajaan Panjalu Ciamis ?

3.          Bagaimana sejarah atana gede ?

4.          Bagaimana sejarah bumi alit?


 

1.3    Tujuan

1.    Menambah pengetahuan siswa mengenai masalah yang berkaitan dengan mata pelajaran tertentu yang membutuhkan penggambaran atau bukti visual langsung .

2.    Memperluas cakrawala siswa mengenai lingkungan hidup yang menambah rasa cinta terhadap tanah air, serta meningkatkan kesegaran jasmani dan daya kreasi seni.

3.    Menambah pengetahuan siswa dalam rangaka penelitian, riset serta teknik menyusun Karya Tulis.

 

1.4    Metode Penulisan

Adapun teknik atau metode-metode yang digunakan dalam penyusunan Karya Tulis ini adalah :

1.          Penelitian dan  pengamatan langsung terhadap objek penelitian.

2.          Mengumpulkan data-data literatur dari buku-buku atau halaman  internet yang ada kaitannya dengan objek yang diamati.

3.          Melaksanakan wawancara langsung dengan pemandu wisata ataupun  narasumber disana yang telah ahli tentang seluk beluk objek yang diamati.

1.5    Sistimatika Penulisan

Kata Pengantar

Daftar Isi

Bab I        Pendahuluan

1.1              Latar Belakang Masalah

1.2              Rumusan Masalah

1.3              Tujuan Studi Lapangan

1.4              Manfaat Studi Lapangan

1.5              Metode Pengumpulan Data

1.6              Waktu dan Tempat Pelaksanaan

1.7              Sistimatika Penulisan

Bab II        Pembahasan Masalah

2.1        Kerajaan Panjalu

2.2    Silsilah Penguasa Kerajaan Panjalu Ciamis

2.3    Sejarah Astana Gede

2.4    Sejarah Bumi alit

Bab III      Kesimpulan & Saran

3.1   Kesimpulan

3.2   Saran

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1    Kerajaan Panjalu

2.1.1   Arti Nama Panjalu

Panjalu adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu yang terletak di ketinggian 731 m dpl dan berada kaki Gunung Sawal (1764 m dpl) Jawa Barat. Posisi Panjalu dikelilingi oleh benteng alamiah berupa rangkaian pegunungan , dari sebelah selatan dan timur berdiri kokoh Gunung Sawal yang memisahkannya dengan wilayah Galuh, bagian baratnya dibentengi oleh Gunung Cakrabuana yang dahulu menjadi batas dengan Kerajaan Sumedang Larang dan di sebelah utaranya memanjang Gunung Bitung yang menjadi batas Kabupaten Ciamis dengan Majalengka yang dahulu merupakan batas Panjalu dengan Kerajaan Talaga.

Secara geografis pada abad ke-13 sampai abad ke-16 (tahun 1200-an sampai dengan tahun 1500-an) Kerajaan Panjalu berbatasan dengan Kerajaan Talaga,Kerajaan Kuningan, dan Cirebon di sebelah utara. Di sebelah timur Kerajaan Panjalu berbatasan dengan Kawali (Ibukota Kemaharajaan Sunda 1333-1482), wilayah selatannya berbatasan dengan Kerajaan Galuh, sedangkan di sebelah barat berbatasan dengan Kerajaan Galunggung dan Kerajaan Sumedang Larang.

Panjalu berasal dari kata jalu (bhs. Sunda) yang berarti jantan, jago, maskulin, yang didahului dengan awalan pa (n). Kata panjalu berkonotasi dengan kata-kata: jagoan,jawara, pendekar, warrior (bhs. Inggeris: pejuang, ahli olah perang), dan knight (bhs. Inggeris: kesatria, perwira).[rujukan?]

Ada pula orang Panjalu yang mengatakan bahwa kata panjalu berarti "perempuan" karena berasal dari kata jalu yang diberi awalan pan, sama seperti kata male (bhs. Inggeris : laki-laki) yang apabila diberi prefiks fe + male menjadi female(bhs.Inggeris : perempuan). Konon nama ini disandang karena Panjalu pernah diperintah oleh seorang ratu bernama Ratu Permanadewi.

Mengingat sterotip atau anggapan umum watak orang Panjalu sampai sekarang di mata orang Sunda pada umumnya, atau dibandingkan dengan watak orang Sunda pada umumnya, orang Panjalu dikenal lebih keras, militan juga disegani karena konon memiliki banyak ilmu kanuragan warisan dari nenek moyang mereka, oleh karena itu arti kata Panjalu yang pertama sepertinya lebih mendekati kesesuaian.

Menurut Munoz (2006) Kerajaan Panjalu Ciamis (Jawa Barat) adalah penerus Kerajaan Panjalu Kediri (Jawa Timur) karena setelah Maharaja Kertajaya Raja Panjalu Kediri terakhir tewas di tangan Ken Angrok (Ken Arok) pada tahun 1222, sisa-sisa keluarga dan pengikut Maharaja Kertajaya itu melarikan diri ke kawasan Panjalu Ciamis. Itulah sebabnya kedua kerajaan ini mempunyai nama yang sama dan Kerajaan Panjalu Ciamis adalah penerus peradaban Panjalu Kediri.

Nama Panjalu sendiri mulai dikenal ketika wilayah itu berada dibawah pemerintahan Prabu Sanghyang Rangga Gumilang; sebelumnya kawasan Panjalu lebih dikenal dengan sebutan Kabuyutan Sawal atau Kabuyutan Gunung Sawal. IstilahKabuyutan identik dengan daerah Kabataraan yaitu daerah yang memiliki kewenangan keagamaan (Hindu) seperti Kabuyutan Galunggung atau Kabataraan Galunggung.

Kabuyutan adalah suatu tempat atau kawasan yang dianggap suci dan biasanya terletak di lokasi yang lebih tinggi dari daerah sekitarnya, biasanya di bekas daerah Kabuyutan juga ditemukan situs-situs megalitik (batu-batuan purba) peninggalan masa prasejarah.

 

2.1.2   Silsilah Penguasa Kerajaan Panjalu Ciamis

Batara Tesnajati

Batara Tesnajati adalah tokoh pendiri Kabataraan Gunung Sawal, ia mempunyai seorang putera bernama Batara Layah. Petilasan Batara Tesnajati terdapat di Karantenan Gunung Sawal.

Batara Layah

Batara Layah menggantikan ayahnya sebagai Batara di Karantenan Gunung Sawal Panjalu, ia mempunyai seorang putera bernama Batara Karimun Putih.

Batara Karimun Putih

Ia menggantikan ayahnya menjadi Batara di Gunung Sawal Panjalu, ia mempunyai seorang putera bernama Prabu Sanghyang Rangga Sakti. Petilasan Batara Karimun Putih terletak di Pasir Kaputihan, Gunung Sawal.

Prabu Sanghyang Rangga Gumilang

Sanghyang Rangga Gumilang naik tahta Panjalu menggantikan ayahnya, ia dikenal juga sebagai Sanghyang Rangga Sakti dan pada masa pemerintahaanya terbentuklah suatu pemerintahan yang berpusat di Dayeuhluhur Maparah setelah berakhirnya masa Kabataraan di Karantenan Gunung Sawal Panjalu.

Sanghyang Rangga Gumilang menikahi seorang puteri Galuh bernama Ratu Permanadewi dan mempunyai seorang putera bernama Sanghyang Lembu Sampulur. Petilasan Prabu Sanghyang Rangga Gumilang terletak di Cipanjalu.

Prabu Sanghyang Lembu Sampulur I

Sanghyang Lembu Sampulur I naik tahta sebagai Raja Panjalu, ia mempunyai seorang putera bernama Sanghyang Cakradewa.

Prabu Sanghyang Cakradewa

Sanghyang Cakradewa memperisteri seorang puteri Galuh bernama Ratu Sari Kidang Pananjung dan mempunyai enam orang anak yaitu:

1)        Sanghyang Lembu Sampulur II,

2)        Sanghyang Borosngora,

3)        Sanghyang Panji Barani,

4)        Sanghyang Anggarunting,

5)        Ratu Mamprang Kancana Artaswayang, dan

6)        Ratu Pundut Agung (diperisteri Maharaja Sunda).

7)        Petilasan Prabu Sanghyang Cakradewa terdapat di Cipanjalu.

Menurut kisah dalam Babad Panjalu, Prabu Sanghyang Cakradewa adalah seorang raja yang adil dan bijaksana, di bawah pimpinannya Panjalu menjadi sebuah kerajaan yang makmur dan disegani. Suatu ketika sang raja menyampaikan keinginannya di hari tua nanti untuk meninggalkan singgasana dan menjadi Resi atau petapa (lengser kaprabon ngadeg pendita). Untuk itu sang prabu mengangkat putera tertuanya Sanghyang Lembu Sampulur II menjadi putera mahkota, sedangkan putera keduanya yaitu Sanghyang Borosngora dipersiapkan untuk menjadi patih dan senapati kerajaan (panglima perang). Oleh karena itu Sanghyang Borosngora pergi berkelana, berguru kepada para brahmana, petapa,resi, guru dan wiku sakti di seluruh penjuru tanah Jawa untuk mendapatkan berbagai ilmu kesaktian dan ilmu olah perang.

Beberapa tahun kemudian sang pangeran pulang dari pengembaraannya dan disambut dengan upacara penyambutan yang sangat meriah di kaprabon Dayeuhluhur, Prabu Sanghyang Cakradewa sangat terharu menyambut kedatangan puteranya yang telah pergi sekian lama tersebut. Dalam suatu acara, sang prabu meminta kepada Sanghyang Borosngora untuk mengatraksikan kehebatannya dalam olah perang dengan bermain adu pedang melawan kakaknya yaitu Sanghyang Lembu Sampulur II dihadapan para pejabat istana dan para hadirin. Ketika kedua pangeran itu tengah mengadu kehebatan ilmu pedang itu, tak sengaja kain yang menutupi betis Sanghyang Borosngora tersingkap dan tampaklah sebentuk rajah (tattoo) yang menandakan pemiliknya menganut ilmu kesaktian aliran hitam.

Prabu Sanghyang Cakradewa sangat kecewa mendapati kenyataan tersebut, karena ilmu itu tidak sesuai dengan Anggon-anggon Kapanjaluan (falsafah hidup orang Panjalu) yaitu mangan kerana halal, pake kerana suci, tekad-ucap-lampah sabhenere dan Panjalu tunggul rahayu, tangkal waluya. Sang Prabu segera memerintahkan Sanghyang Borosngora untuk membuang ilmu terlarang itu dan segera mencari "Ilmu Sajati" yaitu ilmu yang menuntun kepada jalan keselamatan. Sebagai indikator apakah Sanghyang Borosngora telah menguasai ilmu sajati atau belum, maka sang prabu membekalinya sebuah gayung batok kelapa yang dasarnya diberi lubang-lubang sehingga tidak bisa menampung cidukan air. Apabila sang pangeran telah menguasai ilmu sajati, maka ia bisa menciduk air dengan gayung berlubang-lubang tersebut.

Untuk kedua kalinya Sanghyang Borosngora pergi meninggalkan kaprabon, dan kali ini ia berjalan tak tentu arah karena tidak tahu kemana harus mencari ilmu yang dimaksudkan oleh ayahnya itu. Letih berjalan tak tentu arah akhirnya ia duduk bersemadi, mengheningkan cipta, memohon kepada Sanghyang Tunggal agar diberikan petunjuk untuk mendapatkan Ilmu Sajati. Sekian lama bersemadi akhirnya ia mendapat petunjuk bahwa pemilik ilmu yang dicarinya itu ada di seberang lautan, yaitu di tanah suci Mekkah, Jazirah Arab. Dengan ilmu kesaktiannya Sanghyang Borosngora tiba di Mekkah dalam sekejap mata.

Di Mekkah itu Sanghyang Borosngora bertanya kepada setiap orang yang ditemuinya agar dapat bertemu dengan seseorang yang mewarisi Ilmu Sajati yang dimaksud. Orang-orang yang tidak mengerti maksud sang pangeran menunjukkan agar ia menemui seorang pria yang tinggal dalam sebuah tenda di gurun pasir. Sanghyang Borosngora bergegas menuju tenda yang dimaksud dan ketika ia membuka tabir tenda itu dilihatnya seorang pria tua yang sedang menulis dengan pena. Karena terkejut dengan kedatangan tamunya, pena yang ada di tangan pria tua itu terjatuh menancap di tanah berpasir.

Lelaki misterius itu menegur sang pangeran karena telah datang tanpa mengucapkan salam sehingga mengejutkannya dan mengakibatkan pena yang dipegangnya jatuh tertancap di pasir, padahal sesungguhnya lelaki itu hanya berpura-pura terkejut karena ingin memberi pelajaran kepada pemuda pendatang yang terlihat jumawa karena kesaktian yang dimilikinya itu. Setelah bertanya apa keperluannya datang ke tendanya, lelaki itu hanya meminta Sanghyang Borosngora agar mengambilkan penanya yang tertancap di pasir. Sang pangeran segera memenuhi permintaan pria itu, tetapi terjadi kejanggalan, pena yang menancap di tanah itu seperti sudah menyatu dengan bumi sehingga walaupun segenap kekuatannya telah dikerahkan, namum pena itu tak bergeming barang sedikitpun.

Sanghyang Borosngora segera menyadari bahwa orang yang ada di hadapannya bukanlah orang sembarangan. Sebagai seorang kesatria ia mengakui kehebatan pria itu dan memohon ampun atas kelancangan sikapnya tadi. Sang pangeran juga memohon kesediaan pria misterius itu mengajarinya ilmu yang sangat mengagumkannya ini. Lelaki yang kemudian diketahui adalah Sayidina Ali bin Abi Thalib R.A. ini hanya meminta Sanghyang Borosngora mengucapkan kalimat syahadat seperti yang dicontohkannya dan sungguh ajaib, pena yang menancap di tanah itu bisa dicabut dengan mudah olehnya.

Setelah peristiwa itu Sanghyang Borosngora menetap beberapa lama di Mekkah untuk menimba Ilmu Sajati kepada Baginda Ali R.A. yang ternyata adalah Dien Al Islam (Agama Islam). Di akhir masa pendidikannya Sanghyang Borosngora diberi wasiat oleh Baginda Ali agar melaksanakan syiar Islam di tanah asalnya. Sanghyang Borosngora yang sekarang bernama Syeikh Haji Abdul Iman ini kemudian diberi cinderamata berupa Pedang, Cis (tombak bermata dua ataudwisula), dan pakaian kebesaran. Sebelum pulang Syeikh Haji Abdul Iman juga menciduk air zam-zam dengan gayung berlubang pemberian ayahnya dan ternyata air zam-zam itu tidak menetes yang berarti ia telah berhasil menguasai ilmu sajatidengan sempurna.

Ringkas cerita Sanghyang Borosngora kembali ke kaprabon dan disambut dengan suka cita oleh sang prabu beserta seluruh kerabatnya. Sanghyang Borosngora juga menyampaikan syiar Islam kepada seluruh kerabat istana. Sang Prabu yang telah uzur menolak dengan halus ajakan puteranya itu dan memilih hidup sebagai pendeta sebagaimana kehendaknya dahulu dan menyerahkan singgasana kepada putera mahkota Sanghyang Lembu Sampulur II.

Air zam-zam yang dibawa Sanghyang Borosngora dijadikan cikal bakal air Situ Lengkong yang sebelumnya merupakan sebuah lembah yang mengelilingi bukit bernama Pasir Jambu. Gayung berlubang pemberian ayahnya dilemparkan ke Gunung Sawal dan kemudian menjadi sejenis tanaman paku yang bentuknya seperti gayung. Sanghyang Borosngora melanjutkan syiar Islamnya dengan mengembara ke arah barat melewati daerah-daerah yang sekarang bernama Tasikmalaya, Garut, Bandung, Cianjur dan Sukabumi.

Prabu Sanghyang Lembu Sampulur II tidak lama memerintah di Kerajaan Panjalu, ia kemudian hijrah ke daerah Cimalaka di kaki Gunung Tampomas, Sumedang dan mendirikan kerajaan baru di sana. Sanghyang Borosngora yang menempati urutan kedua sebagai pewaris tahta Panjalu meneruskan kepemimpinan kakaknya itu dan menjadikan Panjalu sebagai kerajaan Islam yang sebelumnya bercorak Hindu.

Sebagai media syiar Islam, Sanghyang Borosngora mempelopori tradisi upacara adat Nyangku yang diadakan setiap Bulan Maulud (Rabiul Awal), yaitu sebuah prosesi ritual penyucian pusaka-pusaka yang dit

Prabu Sanghyang Lembu Sampulur II

Sanghyang Lembu Sampulur II naik tahta menggantikan Prabu Sanghyang Cakradewa, akan tetapi ia kemudian menyerahkan singgasana kerajaan kepada adiknya yaitu Sanghyang Borosngora,sedangkan ia sendiri hijrah dan mendirikan kerajaan baru di Cimalaka Gunung Tampomas (Sumedang).

 

2.2    Sejarah Astana Gede

Astana gede Kawali di Ciamis merupakan tempat suci pada masa pemerintahan kerajaan sunda galuh di kawali. Pada jaman dahulu astana gede bernama kabuyutan Sanghiang Lingga Hiang menurut perkiraan penulis disebut astana gede ( astana= makam dan gede= besar ), setelah diatas punden berundak tempat pemujaan raja-raja kawali terdahulu yang masih menganut agama hindu, kemudian digunakan makam orang besar yaitu Adipati Singacalak sebagai raja kawali tahun 1643 - 1718 M keturunan Sultan Cirebon yang sudah menganut agama islam.

Sebagai pusat pemerintahan raja - raja yang pernah bertahta ditempat ini adalah Prabu Ajiguna Linggawisesa, yang dikenal dengan sebutan Sanglumahing Kiding, Prabu Ragamulya atau Aki kolot, Prabu Linggabuwana yang gugur pada peristiwa bubat, Rahyang Niskala Wastukancana Yang meningalkan beberapa prasasti di Astana Gede ( situs kawali) dan Dewa Niskala anak dari Rahyang Wastukancana.

Di Situs Astana Gede Kawali Ciamis ini terdapat 6 buah Prasasti, Batu panglinggih, 2 buah Menhir, Mata air Cikawali, dan makam para raja.

Lokasi peninggalan sejarah dan purbakala ini tepatnya berada disebelah utara atau 27 km dari ibu kota kabupaten Ciamis letaknya berada dikaki gunung sawal disebelah selatan sungai cibulan, yang mengalir dari barat ke timur, disebelah timur berupa parit kecil dari sungai cimuntur yang mengalir dari sebelah utara ke selatan, sebelah utara sungai cikadongdong dan sebelah barat sungai cigarunggang.

Kedaan lingkungan situs ini merupakan hutan lindung yang ditumbuhi dengan berbagai jenis tumbuhan, tanaman keras diantaranya termasuk familia meliceae, lacocarpceae, euphorbiaceae, sapidanceae dan lain-lain, tanaman palawija, rotan, salak, cengkih dll.

Penelitian di astana gede mulai dilakukan pada jaman belanda, tetapi lebih menitik beratkan pada prasasti. tahun 1914 Oudhekumdige Diens mengadakan inventarisasi data arkeologi di astana gede ini. Tahun 1982 direktorat perlindungan pembinaan sejarah dan purbakala jakarta mengadakan studi kelayakan pemugaran situs. Tahun 1984 mengadakan pengujian arkeologi ( field check )di lapangan dalam rangka pembangunan cungkup. Tahun 1993 tim puslit arkenas dan balar bandung mengadakan pedataan arkeologis.

Hasilnya menunjujkan bahwa situs astana gede kawali berasal dari masa prasejarah, klasik dan islam, seperti yang telah disebutkan dimuka. sedangkan yang pertama menemukan adalah Thomas raffles pada tahun 1817 diteruskan oleh gubernur jendral Dumer van twiest tahun 1853, Priederik tahun 1855, Burumund tahun 1867, tuan Veth tahun 1896, Pleyte tahun 1911, De Haan tahun 1912 dan dipugar oleh puslit arkenas tahun 1984 - 1985 sedangkan pemagaran oleh suaka peninggalan sejarah dan purbakala dari banten pada tahun 1992-1993 dan yang penuh mengekakavasi dari balar dan suaka.

 

2.3    Sejarah Bumi Alit

Tempat penyimpanan benda-benda pusaka kerajaan PANJALU ,di wilayah ciamis jawa barat dari sewaktu kerajaan Panjalu berdiri menurut catatan abad 15 masehi sampai sekarang dinamakan BUMI ALIT. Kalau mau ke bumi alit,bisa dari Cirebon kira-kira 75 km melalui penawangan dan kawali sedangkan kalo lewat arah timur melalui buniseuri berjarak 30 km. disitu juga ada situ lengkong.Bumi alit bentuknya bangunan kecil yang berada pada suatu tempat namanya “PASUCIAN” . nama pasucian sendiri diberikan oleh raja Panjalu yang bernama Prabu shangyang Boros Ngora atau Syeh haji dul imam, raja panjalu yang memeluk islam. Yang terkenal dengan pepatah sunda “MANGAN KARNA HALAL, PAKE KARNA SUCI, TEKAD UCAP LAMPAH SABEUNEURE” Bangunan bumi alit masih tradisional dan terasa sejuk, masih banyak batu besar dan lumut dan dulu masih terbuat dari kayu ,bambu dan ijuk. Bumi alit yang sekarang sudah dipugar pada tahun 1955 oleh R.H sewaka (alm) dan warga panjalu. Dipintu masuk bumi alit terdapat patung ular mahkota dan di gapura terdapat patung kepala gajah. Didalamnya juga terdapat batu semacam sajadah yang untuk sholat.

 

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1  Kesimpulan

Setelah Melakukan Studi Lapangan dan melakukan observasi ke setiap objek-objek wisata, kami sebagai penyusun menarik beberapa kesimpulan, diantaranya adalah sebagai berikut :

1.      Setiap objek-objek wisata yang dikunjungi mengandung banyak sekali unsur-unsur sejarah yang bernilai tinggi, sehingga dapat dijadikan sebagai tempat observasi bagi para peneliti baik peneliti luar ataupun dalam negeri.

2.      Penggambaran yang ditampilkan oleh bangunan-bangunan bersejarah seperti Candi Borobudur dapat memberikan gambaran  bahwa semangat bangsa Indonesia di masa purba sangatlah tinggi. Sehingga dapat memotivasi kita untuk maju.

3.      Benda-benda bersejarah seperti pesawat-pesawat masa penjajahan yang disimpan di   museum Dirgantara menjadi saksi bisu tentang perjuangan bangsa Indonesia dalam meraih kemerdekaan.

4.      Pentingnya Universitas bagi para pelajar sangatlah menjadi agenda khusus sasaran bagi mereka. Dengan adanya banyak beasiswa yang disediakan UMY dapat menolong para siswa yang membutuhkan untuk dapat melanjutkan ke bangku perkuliahan.

5.      Praktek langsung ke pabrik dalam pembuatan karya seperti batik dibutuhkan sekali untuk dapat menambah pengetahuan dan keterampilan siswa mengenai cara pembuatannya.

 

3.2  Saran – saran

Setelah melalui berbagai kegiatan pada acara Studi Lapangan, penyusun sebagai peserta ingin menyampaikan beberapa saran untuk demi kemajuan dalam pelaksanaan kegiatan Studi Lapangan yang selanjutnya.

1.      Kurangnya koordinasi dengan pihak pemilik objek wisata mengenai jadwal masuk, sehingga ketika waktu lebih panjang dari yang sebenarnya, objek-objek tersebut tutup.

2.      Kurangnya keamanan sehingga memungkinkan siswa-siswa yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan hal-hal yang tercela.

3.      Waktu yang digunakan untuk observasi langsung di tempat wisata sangat minim, sehingga kurangnya informasi yang didapatkan.

4.      Narasumber yang perlu diwawancara sangat minim pula sehingga sulit untuk mendapatkan informasi.

5.      Tata tertib pada saat pelaksanaan kegiatan  tidak jelas, sehingga masih banyak siswa yang nakal melakukan hal yang tidak baik.

Nyangku di PanjaluSitu Lengkong Panjalu

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Contoh Makalah Panjalu"

Posting Komentar